NonstopNews – Ekonomi –Angka standar hidup layak (SHL) sebesar Rp1,02 juta per bulan versi Badan Pusat Statistik (BPS) menuai kontroversi. Para buruh ramai-ramai menyuarakan kritik dan mempertanyakan realitas angka tersebut. Meskipun BPS menekankan SHL ini bukan patokan layak-tidaknya kehidupan, namun penggunaan istilah "standar" dinilai ASPIRASI (Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) berpotensi menimbulkan kebingungan dan disamakan dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Related Post
Mirah Sumirat, Presiden ASPIRASI, mengatakan, "Masalahnya, BPS menggunakan kalimat ‘standar hidup layak’. Jadi, masih rancu, masyarakat juga kebingungan. Seharusnya bukan standar hidup layak judulnya, ‘rata-rata pengeluaran’, begitu." Ia juga menyoroti kurangnya transparansi mengenai metodologi survei, termasuk profil responden yang disurvei. "Itu juga harus jelas siapa yang disurvei. Apakah keluarga atau dia hidup lajang. Itu harus disampaikan (siapa responden BPS), sesuai survei yang mereka lakukan," tegasnya.
Lebih lanjut, Mirah menilai angka SHL tersebut merefleksikan rendahnya upah buruh Indonesia. Ia mencontohkan buruh dengan gaji Rp3 juta per bulan yang masih harus memenuhi kebutuhan keluarga. "Pada akhirnya, dengan upah Rp3 juta, mereka harus ‘berhemat’. Pendapatannya itu kecil, tapi secara kenyataannya mereka harus mengeluarkan (uang) yang gak bisa dikurangi. Listrik gak bisa dikurangi, bayar kontrakan gak bisa dikurangi," jelasnya. Akibatnya, pengeluaran untuk konsumsi makanan dan kualitas tempat tinggal pun terpaksa dikorbankan.
Senada dengan ASPIRASI, Ristadi dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) juga mempertanyakan parameter yang digunakan BPS. "Bisa dibayangkan, masa iya sih dengan Rp1 jutaan bisa hidup layak sekarang ini?" tanyanya heran. Ia menganggap angka tersebut tidak merepresentasikan kehidupan layak pekerja, khususnya dengan mempertimbangkan biaya hidup saat ini, misalnya biaya sewa rumah minimal Rp500 ribu per bulan. Ristadi lebih familiar dengan istilah KHL yang pernah digunakan sebagai dasar perhitungan UMP. Ia menegaskan, "Apakah angka tersebut mewakili hidup layak pekerja? Tidak sama sekali!"
BPS sendiri mengklaim angka SHL tersebut didapat dari rata-rata pengeluaran Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang telah disesuaikan dengan inflasi dan paritas daya beli. Namun, perdebatan mengenai istilah dan metodologi survei ini tetap berlanjut, menunjukkan kesenjangan persepsi antara data statistik dan realitas kehidupan buruh di Indonesia.
Tinggalkan komentar