Nestapa Wanita Tua Renta di Kabupaten Tangerang untuk Makan dan 'Buang Hajat' Pun Susah

Nestapa Wanita Tua Renta di Kabupaten Tangerang untuk Makan dan 'Buang Hajat' Pun Susah
Emak Sari: Kaki emak kan sakit, ngga bisa jalan jauh lagi. Yang bikin bingung kalau mau BAB harus jalan ke jamban di depan situ, jauh dan harus lewat sawah
Nestapa Wanita Tua Renta di Kabupaten Tangerang untuk Makan dan 'Buang Hajat' Pun Susah

NONSTOPNEWS.ID – Sore itu, seperti hari-hari biasanya, Sari menjalani waktu sendiri di dalam gubuk kecil berukuran 3x4 meter yang dibuat seadanya. Rumah yang sudah lama ditinggali wanita berusia 65 tahun itu terbilang sangat sederhana, hanya berarsitektur rangkaian potongan bambu dan bertembok spanduk bekas dengan beberapa sisi berongga lantaran dimakan usia.

Lantai bangunan pun dibiarkan begitu saja beralaskan tanah. Tidak perlu mengetuk pintu kala kita hendak berkunjung ke kediaman wanita yang akrab disapa Emak Sari itu. Pintu rumahnya pun juga hanya berlandaskan bentangan sisa spanduk yang terkait oleh pantekan paku berkarat.

Di samping rumahnya, terlihat dua gubuk dengan kondisi serupa yang ditinggali anak-anak Emak Sari bersama keluarga kecilnya. Hiruk pikuk kehidupan tidak begitu mereka rasakan, lantaran lokasi tempat tinggalnya yang terletak di sebuah kebun itu jauh dari pemukiman warga setempat lainnya.

Posisi rumah warga Desa Rancailat itu menjorok sekitar 1 km dari Jalan Raya Kresek. Tiap hujan turun, Emak Sari harus cekatan menghindari serangan tetes-tetesan air yang datang dari celah atap rumah yang terbentang kain-kain bekas dan beberapa genting usang.

“Saya pribumi sini, tinggal ya begini lah kondiisnya. Kadang kalau hujan ya pasti bocor kalau lagi kenapa-kenapa saya ke depan itu jauh. Untungya saya tinggal bareng (bersebelahan) sama anak di sini, mereka pada sehat kalau kenapa-kenapa bisa minta bantuan. Cuma yaitu tadi ke dapan itu jaraknya ada kali 1 km ke jalan yang ramai ya,” katanya saat ditemui Nonstopnews.id pada Jumat (4/11/2022).

Langkah kaki Emak Sari kini tak kokoh lagi. Untuk berjalan saja, ia harus mengandalkan sebuah tongkat kayu sebagai alat bantu untuk bertumpu. Sudah 3 tahun kondisi demikian dialami Emak Sari, akibat penyakit lumpuh ringan yang dideritanya. Penyakit itu pun yang juga memupuskan profesinya sebagai pengumpul barang rongsok.

Kepada Nonstopnews.id, Emak Sari mengaku kalau sudah beberapa kali dirinya menjalani pengobatan dengan harapan dapat sembuh dari penyakitnya. Namun, rasa pesimis pada akhirnya menggelayuti dirinya, hingga ia menyudahi proses berobat yang dilakukannya selama beberapa waktu lalu, hal itu lantaran tidak adanya uang yang menjadi modal berobat dan bekal mondar-mandir dari rumah ke dokter.

“Hampir tiga tahun lalu badan saya setengah lumpuh. Pengobatannya saya hentikan waktu itu tidak sampai selesai karena kan berobat terus ngga ada uang, itu pun uangnya dulu ngegadein BPKB motor anak saya. Mau gimana lagi, karena ngga ada lagi biaya ya sudah saya pasrah, tiap hari pakai tongkat aja begini,” ucapnya lirih sambil menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya.

Nestapa Emak Sari, wanita tua rentah ini tidak sampai di situ. Hanya untuk buang air besar (BAB) saja, dirinya mesti melalui perjuangan besar. Tubuh ringkih janda tua itu harus menelusuri jalan tanah sempit dengan lebar tak sampai 1 meter di tengah pematang sawah sembari membawa ember berisi air.

Terlebih, kondisi jalan makin menyulitkannya saat turun hujan. Jalan yang harus dilaluinya becek dan licin akibat tanah terguyur hujan. Tidak hanya satu atau dua kali Emak Sari sampai jatuh tersungkur ke tanah lantaran terpeleset saat jalan.

Setelah menyusuri perjalanan sejauh 500 meter, apa yang dituju Emak Sari baru dapat dijumpai. Disitulah ia dapat menumpahkan isi perut pada sebuah jamban menggantung dari potongan kayu berdimensi 1x1 meter bertiraikan spanduk bekas setinggi setengah tubuh tanpa atap. Pertanyaannya, lalu dimana gerakan sanitasi yang dicanangkan Pemkab Tangerang beberapa waktu lalu itu?

Ilustrator by Fahmi Bule

“Kaki emak kan sakit, ngga bisa jalan jauh lagi. Yang bikin bingung kalau mau BAB harus jalan ke jamban di depan situ, jauh dan harus lewat sawah, tau sendiri jalan sawah mah gimana. Sering banget jatuh karena kaki emak suka ngga kuat apalagi kalau habis hujan ngga tau berapa kali jatuh biar bisa BAB, tapi mau gimana lagi istigfar terus aja emak mah dikuat-kuatin,” ceritanya.

Sangat ironi memang, masih adanya pemandangan demikian di tengah sebuah wilayah pemerintah daerah yang dengan pongahnya berjuluk sebagai 'Kota Seribu Industri'.

Di tengah kesulitan ini, Emak Sari mengaku tidak pernah menerima bantuan apa pun semasa hidup. Setiap kali meminta bantuan dirinya kerap ditolak dengan alasan data yang digunakan pemerintah setempat masih menggunakan data lama.

“Sedih bu kalau bilang soal bantuan, saya pernah minta satu liter ke orang-orang yang lagi nerima bantuan itu di depan. Mereka bilang ini aja kurang, saya bilang saya mau ngasih KK sama KTP tapi alasannya bertahun-tahun sama, katanya datanya data lama yang digunakan. Sampai akhirnya saya lumpuh saya tidak mengajukan lagi, tapi kalau lagi ada pilihan kepala daerah suka banyak yang narik KTP sama KK. Kalau bantuan saya sama sekali ngga pernah dapet selama puluhan tahun di sini,” tutupnya.

Lain halnya bagi Sidik, salah satu anak Emak Sari. Beban hidup tak cuma timbul dalam benaknya akibat kesusahan ekonomi saja. Rasa sedih sering datang lantaran dirinya sampai saat ini tidak dapat bantu banyak seorang ibu yang semestinya dibahagiakannya.

Untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan putrinya saja, Sidik mengakui belum dapat memberikan yang pantas sebagai seorang suami. Untuk berjuang mempertahankan hidup diri dan keluarga kecilnya, pria lulusan Sekolah Dasar (SD) itu terpaksa bekerja secara serabutan dengan penghasilan tak mementu, berkisar Rp 200 - 400 ribu perminggu.

Terkadang, rupiah tak kunjung pula datang hingga beberapa waktu kala nasib baik tidak berpihak kepadanya. Putri Sidik saat ini duduk di bangku kelas 2 SD.

Tak mau anaknya mengalami nasib yang sama seperti dirinya, Sidik memiliki harapan besar agar Sinta anaknya itu, dapat mengenyam pendidikan hingga tingkat tinggi supaya dapat menjadi bekal hidupnya.

"Ya kerjaan mah apa aja kalo ada yang nyuruh Kang, kaya ngebersihin rumput, nyervis elektronik. ya apa ajahlah biar bisa makan," ujarnya.

Harapan itu terus menjadi penghibur lara Sidik tiap kali ia melihat anaknya mengenakan seragam sekolah, meski rasa sedih terkadang menodai hatinya saat ia tidak dapat memberikan uang jajan sekolah dan hanya nembekali anaknya dengan sebotol air mineral.

Tidak munafik, di tengah kondisi ini Sidik berharap uluran tangan, khususnya dari pemerintah daerah yang saat ini dipimpin Ahmed Zaki Iskandar - Mad Romli untuk hadir meringankan hidup orang-orang seperti Emak Sari dan Sidik yang menjadi amanat Pasal 34 ayat 2 Amandemen keempat dari UUD 1945.

"Semoga melalui media ini, pak Bupati bisa denger gitu, bedah rumah lah. Ya minimal bansos-bansos itu, kaya orang-orang yang dapet. Kadang, ada iri saya. Kok orang lain mah mungkin yang lebih mampu (kondisi ekonominya) dari saya dapet, malah saya mah engga," ujarnya lirih. (Mimi/Iqbal)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS